Skip to main content

London's Bites

Hampstead, London, 2010
“ May I speak to Diandra, please?” tanya seorang cowok di seberang sana.
“ Yes, this is Diandra, Who’s speaking?”
“ Apa kabar, cantik?”
“ Siapa sih ini?”
“ This is your Romeo.”
“ Udah deh jangan becanda. Do I know you?”
“ You look really beautiful on TV. Ga nyangka banget gue bisa nonton eks gue di Local TV. Udah lama jadi weather reporter?”
Diandra terdiam mengenali suara berat dan dalam cowok itu.
“ Still hasn’t get the clue who I am. Pink Envelopes with roses stamps from Washington, I never forget you, Diandra.”
Oh My God, It can’t be him.
“ Is this Romi ?”
“ Correct, girl. Apa kabar ?”
Tiba-tiba tangan Diandra terasa dingin, padahal matahari musim panas sedang terik-teriknya membakar London. Kenapa dia harus mendengar suara itu lagi setelah hampir lima tahun. Kenapa harus Romi yang meneleponnya siang itu.
“ Kabar baik. Kamu sendiri gimana ? Ada angin apa tiba-tiba telepon aku di sini ? I thought you are somewhere in US.” Romi tertawa pelan, Diandra merasakan dadanya berdesir mendengar tawa itu. I really miss that laughter.
“ Aku ngambil master di sini. Nanti aja deh ceritanya. Yang penting kapan kita bisa ketemu? Kangen banget nih, pengen lihat wajah cantik kamu.”
Romi…Romi, the same old Romi, selalu berlimpahan dengan pujian yang dapat membuat wanita terbang ke angkasa.
“ Ehm, aku lagi banyak kerjaan banget, Romi. Maklumlah dapet beasiswa, kalau ga cepet lulus bisa-bisa kuliahku putus di tengah jalan. I’ll call you when I’m free.” Diandra berusaha menolak dengan halus. Dia tidak mau terjebak kali ini, pertemuannya yang terakhir saja sudah cukup menyakitkan.
“ Kamu ga kangen aku, Diandra? For old good times shakes. Just Once, then I’ll have to go back to Bristol.”
Bukan Romi namanya jika tidak terus memaksa. Akhirnya hati Diandra luluh juga. Tak ada salahnya bertemu dengan kawan lama di London, anggaplah ini sekedar menjamu teman baik yang datang ke kotanya.
“ Ok, Kamu tahu Virgin Store di Picadilly Circus ? Meet me there.”
“ That’s my girl.”

Starbucks Oxford Street
Dan di sanalah mereka, duduk berseberangan di keramaian Starbucks Oxford Street. Diandra menundukkan kepalanya jengah, sejak tadi Romi hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Diandra memalingkan wajahnya ke sebelah kiri, shoot malah dilihatnya sepasang bule yang sedang asyik berpagut seperti burung merpati di meja sebelahnya.
“ Romi, do you want to spend this afternoon only by looking at me?” Tanya Diandra melotot ke arah Romi sambil menyedot ice caramel frapuccinonya dari tumblernya.
“ Yah..begitulah,” kata Romi sambil tersenyum, dengan senyum yang sama yang biasanya dapat membuat Diandra melayang ke angkasa.
“ So, kapan sebenarnya kamu pindah ke UK dan darimana bisa dapat nomor selularku di sini?”
“ Bukan Romi namanya kalau ga bisa dapat informasi kayak gitu doang. Wah kamu makin dasyat aja, Diandra.”
“ Get serious, Romi,” kata Diandra pura-pura kesal, memang dia hanya pura-pura karena siapa yang bisa benar-benar kesal pada cowok setampan Romi. Dan Romi memang tidak berubah, masih seperti dulu, hanya terlihat lebih dewasa. Bisa dibilang dia makin tampan apalagi dengan berpakaian rapi ala English Business Man. Diandra serasa dilemparkan kembali ke masa SMU dulu.
“ Kamu masih galak aja kaya macan, Diandra. Yah, aku sekarang ambil master di Bristol sambil kerja di perusahaan software kecil di sana. Lumayanlah buat nambah-nambah biaya kuliah. Dan kebetulan hari minggu lalu kantorku memintaku untuk mengurus sesuatu di London. Lagi iseng-iseng nonton TV di hotel, tiba-tiba aku kok kayak ngelihat wajah cewek imut di ramalan cuaca, pas baca namanya aku hampir ga percaya. What a small world. Maybe it’s the faith that after almost five years I meet you here in London.”
“ Terus, how did you get my number?”
“ From your brother. Sepertinya he’s still a big fan of me…hehehe. Sekarang gantian dong, kamu yang cerita gimana kamu bisa kuliah di sini dan muncul di TV pula.”
Diandra menarik nafas panjang,” It’s lucky me to get two years scholarship from British Foundation. Aku kan kerja di stasiun TV di Jakarta, dan kebetulah aku dapat kesempatan magang juga di Local Channel, It’s not BBC anyway, tapi lumayanlah buat nambah ilmu.”
“ Aku kangen banget sama kamu, Diandra. It’s nice to see you again,” Kata Romi pelan sambil meraih tangan halus Diandra. Diandra spontan menarik tangannya. Romi tersenyum maklum.
“ Kamu ga berubah yah Diandra masih seperti dulu. Inget ga dulu waktu kita pacaran dulu kamu ga mau aku cium.”
Diandra tak bisa menahan senyumnya, siapa yang bisa lupa kenangan masa SMU dulu. Masa Diandra masih polos, sepolos kertas.
“ Siapa yang pacaran ? Cuma tiga hari aja dibilang pacaran.”
“ Yah, tiga hari kan officialnya. Tapi kenangannya kan sampai bertahun-tahun. Kenapa sih, kamu gak mau ngaku kalau kamu tuh sayang sama aku? Cuma tiga hari tapi tetep saja aku yang pertama kali ngesun pipi kamu kan ?”
Diandra menganggukkan kepalanya malu-malu. Masih diingatnya kecupan pertama di pipinya, waktu itu Diandra merasa teramat sangat kecolongan, tapi jujur saja kenangan itu tidak dapat dilupakannya.
TIGA HARI adalah hubungan tersingkat selama hidupnya. Romi adalah teman sekelasnya, gaya, gaul, keren dan badung, sedangkan Diandra cantik, pendiam dan juara kelas. Bagaikan dua kutub magnet yang berbeda, perbedaan itulah yang berakhir dengan ketertarikan satu sama lain.
Hubungan mereka masih terus berlanjut, meskipun Romi harus pindah ke Washington untuk meneruskan sekolahnya. Surat beramplop pink dengan perangko bergambar mawar merah tetap dengan setia hadir di rumahnya. Sampai akhirnya mereka bisa bertemu lagi justru di sini, di tempat yang teramat jauh dari Jakarta. Dengan perasaan yang sama namun keadaan yang jauh berbeda.
“ Nice to see you, Diandra,” Kata Romi pelan sambil secepat kilat mengecup pipi kanan Diandra. Ketika akhirnya mereka berpisah di pedestrian Oxford Street. Diandra terpaku di tempatnya, sementara Romi bergegas pergi sambil melambaikan tangannya.
“I can't stop loving you, Romi...” kata Diandra pelan sambil melompat naik ke bus bertingkat merah no.13 yang membawanya kembali ke asrama.
Regents Park
“Apa perlu aku pindah ke London, Di?” tanya Romi sambil mengayuh perahu kayu yang mereka berdua naiki di danau Regents Park, sebuah taman yang berada di tengah kota London yang bersebelahan dengan London Zoo dan kawasan elit Primrose Hill. Ini adalah sore kelima mereka melewatkan waktu bersama.
Diandra terpaksa mengantar turis kesasar ini berkeliling London. Buckingham Palace, London Eye, Tower of London, Musium Lilin Madam Tussaud, berbelanja di Harrods dan Selfridges, hingga keluar masuk toko vintage di Camden Town dan toko buku bekas di daerah Charing Cross.
Regents Park merupakan tempat pemberhentian terakhir favorit mereka berdua. Dimana mereka bisa mendayung perahu berdua, atau sekedar duduk berduaan sambil menikmati seporsi kentang panas dan setengah porsi roast chicken.
“Of course not, you’re better stay away from me,” canda Diandra.
“I only want to be your friend Diandra. Don’t worry, by the way maapin aku yah kalo kamu masih marah dengan pertemuan kita yang terakhir dulu.”
Diandra terdiam, tiba-tiba Diandra seperti merasakan kembali sakit hatinya. Bayangan seorang wanita cantik yang membukakan pintu kamar apartemen Romi di hari ulang tahunnya yang ke-21 seakan kembali hadir di benaknya. Romi yang gelagapan, Diandra yang berlari pergi dengan membawa kado berupa cd lagu yang telah terbungkus cantik.
Namun Diandra menggelengkan kepalanya dengan tegas, “ Aku gak akan pernah bisa marah sama kamu, Romi.”
“....karena aku terlalu mencintaimu,' lanjutnya dalam hati.
Camden Town
Sore yang panas, pertunjukan musik di hadapannya tidak dapat mengobati gundah di hatinya. Diandra tersentak ketika handphone di tangannya berdering. Diandra melihat nama yang muncul di layar. Romi. Diandra memejamkan matanya, dua bulir air mata mengalir di pipinya.
Percakapan tadi pagi dengan Kang Anton suaminya yang dengan setia menunggunya di Jakarta,“ Halo,Di. Kamu kemana aja sih ? sibuk yah? Ada yang mau bicara nih ?”, terdengar handphone berpindah tangan dan berganti dengan sebuah suara lembut milik seorang bocah laki-laki lucu yang selalu dirindukannya.
“Halo, Bunda. Kok Bunda udah lama ga telepon Iko? Iko kangen banget sama Bunda. Sekarang Iko udah bisa baca doa sebelum makan. Bunda kapan pulang?”
Semua ini bertentangan dengan hati nuraninya, semua ini terlalu menyakitkan. Diandra menyadari, bahwa ia memang sangat mencintai dan tak pernah berhenti mencintai Romi. Namun Romi adalah bagian dari masa lalunya, sedangkan Kang Anton dan Iko adalah masa sekarang sekaligus masa depannya.
Perlahan Diandra meraih telepon genggamnya, membuka phone book, mencari nama Romi dan dengan tangan yang bergetar menekan tombol delete.

Inspired by: Cinta Kau dan Dia (Dewa)

Comments

Popular posts from this blog

Her World

Jam dinding di sebuah pusat kebugaran di selatan kota Jakarta menunjukkan tepat pukul 8 malam. Meskipun udara di dalam studio yoga terasa sangat dingin, Tanya mengelap keringat yang menetes di keningnya. Kaos tipis yang dikenakannya seakan menempel di tubuhnya, basah oleh keringat. Setelah melakukan berbagai pose yoga mulai dari downward-facing dog, plank pose, chaturanga dandasana dan diakhiri dengan salamba sirsasana atau supported headstand , Tanya merasa pikirannya lebih tenang. That's the power of yoga. Seluruh pose yoga seakan dapat merilekskan otot-ototnya sekaligus pikirannya. Sambil berjalan menuju locker room, Tanya membalas sapaan beberapa orang yang telah lama dikenalnya sejak dia menjadi anggota di pusat kebugaran ini. Membuka gembok lockernya, mengambil perlengkapan mandinya, sambil sekilas membaca pesan Andri di smartphonenya. “ Babe, I'll be at coffee shop outside. Meet me when you finish.” Tanya tersenyum, membayangkan pasti sekarang Andri sedang sibuk be

Makan pecel yuuuk....

Pecel Madiun Serpong the famous pecel madiun....hmmmm.... es dawet a.k.a cendol the place can fulfill your passion to shop too Cheers, Dhidie

A piece of Crab from Prawn City

sedikit oleh2 cerita dari kota cirebon. berangkat jam 7 malem sampai jam 2.30 pagi. what a trip. bekal kangen sama anak dan niat reuni SMP yang kuat, sempet dua kali berhenti di rest area, hopeless macet di pantura, muter balik ke arah bandung. Thank's God, arrived safely. cirebon only means two words, food and food. must visit teteup toko Shinta Manisan (ranginang keju dan rambak pedes). must eat foodsnya teteup tahu gejrot dan empal gentong (sumpah ga pake lontong) bonusnya nemu krupuk melarat pake sambel dan otak2 enakplus teh manis tong tji dingin dan mendoan berbumbu kecap. kenyang, puas masih ada Jack POT-nya Fried Rajungan (small crab) di depan toko Shinta, terakhir makan sepuluh tahun yang lalu. yang satu reuni sama temen2nya yang satu reuni sama makanan jaman dulu